Seorang sahabat kami tercinta, dulunya adalah
orang yang menuntun kami untuk mengenal ajaran islam yang haq (yang
benar). Awalnya, ia begitu gigih menjalankan ajaran Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia
pun selalu memberikan wejangan dan memberikan beberapa bacaan tentang
Islam kepada kami. Namun beberapa tahun kemudian, kami melihatnya begitu
berubah. Ajaran Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
sebenarnya adalah suatu yang wajib bagi seorang pria, lambat laun
menjadi pudar dari dirinya. Ajaran tersebut tertanggal satu demi satu.
Dan setelah lepas dari dunia kampus, kabarnya pun sudah semakin tidak
jelas. Kami hanya berdo’a semoga sahabat kami ini diberi petunjuk oleh
Allah.
Berlatar belakang inilah, kami menyusun risalah ini. Dengan tujuan agar
kaum muslimin yang telah mengenal agama Islam yang hanif ini dan telah
mengenal lebih mendalam ajaran Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa
mengetahui bagaimanakah kiat agar tetap istiqomah dalam beragama,
mengikuti ajaran Nabi dan agar bisa tegar dalam beramal. Semoga
bermanfaat.
Keutamaan Orang yang Bisa Terus Istiqomah
Yang dimaksud istiqomah adalah menempuh jalan (agama) yang lurus
(benar) dengan tidak berpaling ke kiri maupun ke kanan. Istiqomah ini
mencakup pelaksanaan semua bentuk ketaatan (kepada Allah) lahir dan
batin, dan meninggalkan semua bentuk larangan-Nya.[1] Inilah pengertian
istiqomah yang disebutkan oleh Ibnu Rajab Al Hambali.
Di antara ayat yang menyebutkan keutamaan istiqomah adalah firman Allah
Ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ
عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا
بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
“
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah pada pendirian mereka,
maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah
kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah
kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.” (QS. Fushilat: 30)
Yang dimaksud dengan istiqomah di sini terdapat tiga pendapat di kalangan ahli tafsir:
- Istiqomah di atas tauhid, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakr Ash Shidiq dan Mujahid,
- Istiqomah dalam ketaatan dan menunaikan kewajiban Allah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Al Hasan dan Qotadah,
- Istiqomah di atas ikhlas dan dalam beramal hingga maut menjemput, sebagaimana dikatakan oleh Abul ‘Aliyah dan As Sudi.[2]
Dan sebenarnya istiqomah bisa mencakup tiga tafsiran ini karena semuanya tidak saling bertentangan.
Ayat di atas menceritakan bahwa orang yang istiqomah dan teguh di
atas tauhid dan ketaatan, maka malaikat pun akan memberi kabar gembira
padanya ketika maut menjemput[3] “
Janganlah takut dan janganlah bersedih“.
Mujahid, ‘Ikrimah, dan Zaid bin Aslam menafsirkan ayat tersebut:
“Janganlah takut pada akhirat yang akan kalian hadapi dan janganlah
bersedih dengan dunia yang kalian tinggalkan yaitu anak, keluarga, harta
dan tanggungan utang. Karena para malaikat nanti yang akan
mengurusnya.” Begitu pula mereka diberi kabar gembira berupa surga yang
dijanjikan. Dia akan mendapat berbagai macam kebaikan dan terlepas dari
berbagai macam kejelekan. [4]
Zaid bin Aslam mengatakan bahwa kabar gembira di sini bukan hanya
dikatakan ketika maut menjemput, namun juga ketika di alam kubur dan
ketika hari berbangkit. Inilah yang menunjukkan keutamaan seseorang yang
bisa
istiqomah.
Al Hasan Al Bashri ketika membaca ayat di atas, ia pun berdo’a, “
Allahumma anta robbuna, farzuqnal istiqomah (Ya Allah, Engkau adalah Rabb kami. Berikanlah keistiqomahan pada kami).”[5]
Yang serupa dengan ayat di atas adalah firman Allah
subhanahu wa ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلا خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ, أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ
خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah
maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula)
berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di
dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Ahqaf: 13-14)
Dari Abu ‘Amr atau Abu ‘Amrah Sufyan bin Abdillah, beliau berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِى فِى الإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ
أَحَدًا بَعْدَكَ – وَفِى حَدِيثِ أَبِى أُسَامَةَ غَيْرَكَ – قَالَ «
قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ ».
“Wahai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, ajarkanlah
kepadaku dalam (agama) islam ini ucapan (yang mencakup semua perkara
islam sehingga) aku tidak (perlu lagi) bertanya tentang hal itu kepada
orang lain setelahmu [dalam hadits Abu Usamah dikatakan, "selain
engkau"]. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “
Katakanlah: “Aku beriman kepada Allah“, kemudian beristiqamahlah dalam ucapan itu.”[6] Ibnu Rajab mengatakan, “Wasiat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sudah mencakup wasiat dalam agama ini seluruhnya.”[7]
Pasti Ada Kekurangan dalam Istiqomah
Ketika kita ingin berjalan di jalan yang lurus dan memenuhi tuntutan
istiqomah, terkadang kita tergelincir dan tidak bisa istiqomah secara
utuh. Lantas apa yang bisa menutupi kekurangan ini? Jawabnnya adalah
pada firman Allah
Ta’ala,
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ
“
Katakanlah: “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti
kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Rabbmu adalah Rabb Yang Maha Esa, maka tetaplah istiqomah pada jalan yan lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 6). Ayat ini memerintahkan untuk istiqomah sekaligus beristigfar (memohon ampun pada Allah).
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Ayat di atas “
Istiqomahlah dan mintalah ampun kepada-Nya” merupakan isyarat bahwa seringkali ada kekurangan dalam istiqomah yang diperintahkan.
Yang menutupi kekurangan ini adalah istighfar (memohon ampunan Allah). Istighfar itu sendiri mengandung taubat dan istiqomah (di jalan yang lurus).”[8]
Kiat Agar Tetap Istiqomah
Ada beberapa sebab utama yang bisa membuat seseorang
tetap teguh dalam keimanan.
Pertama: Memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar.
Allah
Ta’ala berfirman,
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ
وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“
Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan
yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah
menyesatkan orang-orang yang lalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)
Tafsiran ayat “
Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh …” dijelaskan dalam hadits berikut.
الْمُسْلِمُ إِذَا سُئِلَ فِى الْقَبْرِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، فَذَلِكَ قَوْلُهُ :
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِى
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِى الآخِرَةِ .
“
Jika seorang muslim ditanya di dalam kubur, lalu ia
berikrar bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah
dan Muhammad adalah utusan Allah, maka inilah tafsir ayat: “Allah
meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu
dalam kehidupan di dunia dan di akhirat”.“[9]
Qotadah As Sadusi mengatakan, “Yang dimaksud Allah meneguhkan
orang beriman di dunia adalah dengan meneguhkan mereka dalam kebaikan
dan amalan sholih. Sedangkan di akhirat, mereka akan diteguhkan di kubur
(ketika menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, pen).” Perkataan
semacam Qotadah diriwayatkan dari ulama salaf lainnya.[10]
Mengapa Allah bisa teguhkan orang beriman di dunia dengan terus
beramal sholih dan di akhirat (alam kubur) dengan dimudahkan menjawab
pertanyaan malaikat “Siapa Rabbmu, siapa Nabimu dan apa agamamu”?
Jawabannya adalah karena pemahaman dan pengamalannya yang baik dan benar terhadap dua kalimat syahadat. Dia
tentu memahami makna dua kalimat syahadat dengan benar. Memenuhi rukun
dan syaratnya. Serta dia pula tidak menerjang larangan Allah berupa
menyekutukan-Nya dengan selain-Nya, yaitu berbuat syirik.
Oleh karena itu, kiat pertama ini menuntunkan seseorang agar bisa
beragama dengan baik yaitu mengikuti jalan hidup salaful ummah yaitu
jalan hidup para sahabat yang merupakan generasi terbaik dari umat ini.
Dengan menempuh jalan tersebut, ia akan sibuk belajar agama untuk
memperbaiki aqidahnya, mendalami tauhid dan juga menguasai kesyirikan
yang sangat keras Allah larang sehingga harus dijauhi. Oleh karena itu,
jalan yang ia tempuh adalah jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam
beragama yang merupakan golongan yang selamat yang akan senantiasa
mendapatkan pertolongan Allah.
Kedua: Mengkaji Al Qur’an dengan menghayati dan merenungkannya.
Allah menceritakan bahwa Al Qur’an dapat meneguhkan hati orang-orang
beriman dan Al Qur’an adalah petunjuk kepada jalan yang lurus. Allah
Ta’ala berfirman,
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“
Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril)[11] menurunkan Al Qur’an itu dari Rabbmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.” (QS. An Nahl: 102)
Oleh karena itu, Al Qur’an itu diturunkan secara beangsur-angsur untuk meneguhkan hati Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana terdapat dalam ayat,
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً
وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلا
“
Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al Furqon: 32)
Al Qur’an adalah jalan utama agar seseorang bisa terus kokoh dalam
agamanya. [12] Alasannya, karena Al Qur’an adalah petunjuk dan obat bagi
hati yang sedang ragu. Sebagaimana Allah
Ta’ala berfirman,
هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
“
Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman.”
(QS. Fushilat: 44). Qotadah mengatakan, “Allah telah menghiasi Al
Qur’an sebagai cahaya dan keberkahan serta sebagai obat penawar bagi
orang-orang beriman.”[13] Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut,
“Katakanlah wahai Muhammad, Al Qur’an adalah petunjuk bagi hati orang
beriman dan obat penawar bagi hati dari berbagai keraguan.”[14]
Oleh karena itu, kita akan saksikan keadaan yang sangat berbeda
antara orang yang gemar mengkaji Al Qur’an dan merenungkannya dengan
orang yang hanya menyibukkan diri dengan perkataan filosof dan manusia
lainnya. Orang yang giat merenungkan Al Qur’an dan memahaminya, tentu
akan lebih kokoh dan teguh dalam agama ini. Inilah kiat yang mesti kita
jalani agar kita bisa terus istiqomah.
Ketiga:
Iltizam (konsekuen) dalam menjalankan syari’at Allah
Maksudnya di sini adalah seseorang dituntunkan untuk konsekuen dalam
menjalankan syari’at atau dalam beramal dan tidak putus di tengah jalan.
Karena konsekuen dalam beramal lebih dicintai oleh Allah daripada
amalan yang sesekali saja dilakukan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits
dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“
Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ‘Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [15]
An Nawawi
rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah bahwa
amalan yang sedikit namun konsekuen dilakukan, itu lebih baik dari
amalan yang banyak namun cuma sesekali saja dilakukan.
Ingatlah
bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan amalan
ketaatan, dzikir, pendekatan diri pada Allah, niat dan keikhlasan dalam
beramal, juga akan membuat amalan tersebut diterima oleh Sang Kholiq Subhanahu wa Ta’ala.
Amalan sedikit namun konsekuen dilakukan akan memberikan ganjaran yang
besar dan berlipat dibandingkan dengan amalan yang sedikit namun
sesekali saja dilakukan.”[16]
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Amalan yang dilakukan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah amalan yang konsekuen
dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang memutuskan amalan dan
meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana beliau pernah melarang
melakukan hal ini pada sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar.”[17] Yaitu Ibnu
‘Umar dicela karena meninggalkan amalan shalat malam.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash
radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,
يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ
“
Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia
biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya
lagi.”[18]
Selain amalan yang kontinu dicintai oleh Allah, amalan tersebut
juga dapat mencegah masuknya virus “futur” (jenuh untuk beramal). Jika
seseorang beramal sesekali namun banyak, kadang akan muncul rasa malas
dan jenuh. Sebaliknya jika seseorang beramal sedikit namun ajeg (terus
menerus), maka rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat untuk
beramal akan selalu ada. Itulah mengapa kita dianjurkan untuk beramal
yang penting kontinu walaupun jumlahnya sedikit.
Keempat: Membaca kisah-kisah orang sholih sehingga bisa dijadikan uswah (teladan) dalam istiqomah.
Dalam Al Qur’an banyak diceritakan kisah-kisah para nabi, rasul, dan
orang-orang yang beriman yang terdahulu. Kisah-kisah ini Allah jadikan
untuk meneguhkan hati Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengambil teladan dari kisah-kisah tersebut ketika menghadapi permusuhan orang-orang kafir. Allah
Ta’ala berfirman,
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ
فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى
لِلْمُؤْمِنِينَ
“
Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah
kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini
telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi
orang-orang yang beriman.” (QS. Hud: 11)
Contohnya kita bisa mengambil kisah istiqomahnya Nabi Ibrahim.
قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانْصُرُوا آَلِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ
(68) قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ (69)
وَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الْأَخْسَرِينَ (70)
“
Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak”. Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”. mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi.” (QS. Al Anbiya’: 68-70)
Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma berkata,
آخِرَ قَوْلِ إِبْرَاهِيمَ حِينَ أُلْقِىَ فِى النَّارِ
حَسْبِىَ اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“Akhir perkataan Ibrahim ketika dilemparkan dalam kobaran api adalah “
hasbiyallahu wa ni’mal wakil”
(Cukuplah Allah sebagai penolong dan sebaik-baik tempat
bersandar).”[19] Lihatlah bagaimana keteguhan Nabi Ibrahim dalam
menghadapi ujian tersebut? Beliau menyandarkan semua urusannya pada
Allah, sehingga ia pun selamat. Begitu pula kita ketika hendak
istiqomah, juga sudah seharusnya melakukan sebagaimana yang Nabi Ibrahim
contohkan. Ini satu pelajaran penting dari kisah seorang Nabi.
Begitu pula kita dapat mengambil pelajaran dari kisah Nabi Musa ‘alaihis salam dalam firman Allah,
فَلَمَّا تَرَاءَى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَى إِنَّا لَمُدْرَكُونَ, قَالَ كَلا إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ
“
Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah
pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”.
Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku
besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku”.” (QS. Asy
Syu’aro: 61-62). Lihatlah bagaimana keteguhan Nabi Musa ‘alaihis salam
ketika berada dalam kondisi sempit? Dia begitu yakin dengan pertolongan
Allah yang begitu dekat. Inilah yang bisa kita contoh.
Oleh karena itu, para salaf sangat senang sekali mempelajari
kisah-kisah orang sholih agar bisa diambil teladan sebagaimana mereka
katakan berikut ini.
Basyr bin Al Harits Al Hafi mengatakan,
أَنَّ أَقْوَامًا مَوْتَى تَحْيَا القُلُوْبَ بِذِكْرِهِمْ وَأَنَّ أَقْوَامًا أَحْيَاءَ تَعْمَى الأَبْصَارَ بِالنَّظَرِ إِلَيْهِمْ
“
Betapa banyak manusia yang telah mati (yaitu orang-orang yang
sholih, pen) membuat hati menjadi hidup karena mengingat mereka. Namun
sebaliknya, ada manusia yang masih hidup (yaitu orang-orang fasik, pen)
membuat hati ini mati karena melihat mereka.“[20] Itulah
orang-orang sholih yang jika dipelajari jalan hidupnya akan membuat hati
semakin hidup, walaupun mereka sudah tidak ada lagi di tengah-tengah
kita. Namun berbeda halnya jika yang dipelajari adalah kisah-kisah para
artis, yang menjadi
public figure. Walaupun mereka hidup, bukan
malah membuat hati semakin hidup. Mengetahui kisah-kisah mereka mati
membuat kita semakin tamak pada dunia dan gila harta.
Wallahul muwaffiq.
Imam Abu Hanifah juga lebih senang mempelajari kisah-kisah para ulama dibanding menguasai bab fiqih. Beliau
rahimahullah mengatakan,
الْحِكَايَاتُ عَنْ الْعُلَمَاءِ وَمُجَالَسَتِهِمْ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ
كَثِيرٍ مِنْ الْفِقْهِ لِأَنَّهَا آدَابُ الْقَوْمِ وَأَخْلَاقُهُمْ
“
Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai
daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka
diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.“[21]
Begitu pula yang dilakukan oleh Ibnul Mubarok yang memiliki
nasehat-nasehat yang menyentuh qolbu. Sampai-sampai ‘Abdurrahman bin
Mahdi mengatakan mengenai Ibnul Mubarok, “
Kedua mataku ini tidak pernah melihat pemberi nasehat yang paling bagus dari umat ini kecuali Ibnul Mubarok.“[22]
Nu’aim bin Hammad mengatakan, “Ibnul Mubarok biasa duduk-duduk
sendirian di rumahnya. Kemudian ada yang menanyakan pada beliau, “Apakah
engkau tidak kesepian?” Ibnul Mubarok menjawab, “
Bagaimana mungkin aku kesepian, sedangkan aku selalu bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” [23] Maksudnya, Ibnul Mubarok tidak pernah merasa kesepian karena sibuk mempelajari jalan hidup Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Itulah pentingnya merenungkan kisah-kisah orang sholih. Hati pun
tidak pernah kesepian dan gundah gulana, serta hati akan terus kokoh.
Kelima: Memperbanyak do’a pada Allah agar diberi keistiqomahan.
Di antara sifat orang beriman adalah selalu memohon dan berdo’a
kepada Allah agar diberi keteguhan di atas kebenaran. Dalam Al Qur’an
Allah
Ta’ala memuji orang-orang yang beriman yang selalu berdo’a kepada-Nya untuk meminta keteguhan iman ketika menghadapi ujian. Allah
Ta’ala berfirman,
وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا
وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا
اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ (146) وَمَا كَانَ
قَوْلَهُمْ إِلَّا أَنْ قَالُوا
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (147) فَآَتَاهُمُ اللَّهُ ثَوَابَ الدُّنْيَا وَحُسْنَ ثَوَابِ الْآَخِرَةِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (148
“
Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka
sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi
lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu
dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang
sabar. Tidak ada do’a mereka selain ucapan: ‘Ya
Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang
berlebih-lebihan dalam urusan kami dan teguhkanlah pendirian kami, dan
tolonglah kami terhadap kaum yang kafir‘. Karena itu Allah
memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di
akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS. Ali ‘Imran: 146-148).
Dalam ayat lain Allah
Ta’ala berfirman,
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
“
Ya Rabb kami, limpahkanlah kesabaran atas diri kami, dan
teguhkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang
kafir.” (QS. Al Baqarah: 250)
Do’a lain agar mendapatkan keteguhan dan ketegaran di atas jalan yang lurus adalah,
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
“
Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada
kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah
kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha
Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imron: 8)
Do’a yang paling sering Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam panjatkan adalah,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
“
Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang
Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).”
Ummu Salamah pernah menanyakan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa do’a tersebut yang sering beliau baca. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menjawab,
يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ
أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ
أَزَاغَ
“
Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di
antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah
akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki,
Allah pun bisa menyesatkannya.“[24]
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّ الْقُلُوبَ بِيَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يُقَلِّبُهَا
“
Sesungguhnya hati berada di tangan Allah ‘azza wa jalla, Allah yang membolak-balikkannya.“[25]
Keenam: Bergaul dengan orang-orang sholih.
Allah menyatakan dalam Al Qur’an bahwa salah satu sebab utama yang
membantu menguatkan iman para shahabat Nabi adalah keberadaan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah mereka. Allah
Ta’ala berfirman,
وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آَيَاتُ اللَّهِ
وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى
صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“
Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian menjadi kafir,
sedangkan ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nyapun
berada ditengah-tengah kalian? Dan barangsiapa yang berpegang teguh
kepada (agama) Allah maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada
jalan yang lurus.” (QS. Ali ‘Imran: 101)
Allah juga memerintahkan agar selalu bersama dengan orang-orang yang baik. Allah
Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur).” (QS. At Taubah: 119)
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada kita agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan dan sering menasehati kita.
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ
الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ
إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ
بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
“
Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang
yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan
pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau
bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan
pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus
terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” [26]
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Hadits ini menunjukkan
larangan berteman dengan orang-orang yang dapat merusak agama maupun
dunia kita. Dan hadits ini juga menunjukkan dorongan agar bergaul dengan
orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan dunia.”[27]
Para ulama pun memiliki nasehat agar kita selalu dekat dengan orang sholih.
Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata,
نَظْرُ المُؤْمِنِ إِلَى المُؤْمِنِ يَجْلُو القَلْبَ
“
Pandangan seorang mukmin kepada mukmin yang lain akan mengilapkan hati.“[28]
Maksud beliau adalah dengan hanya memandang orang sholih, hati
seseorang bisa kembali tegar. Oleh karenanya, jika orang-orang sholih
dahulu kurang semangat dan tidak tegar dalam ibadah, mereka pun
mendatangi orang-orang sholih lainnya.
‘Abdullah bin Al Mubarok mengatakan, “Jika kami memandang Fudhail bin
‘Iyadh, kami akan semakin sedih dan merasa diri penuh kekurangan.”
Ja’far bin Sulaiman mengatakan, “Jika hati ini ternoda, maka kami
segera pergi menuju Muhammad bin Waasi’.”[29]
Ibnul Qayyim mengisahkan, “Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami
ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami
prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan sempit dalam
menjalani hidup, kami segera mendatangi Ibnu Taimiyah untuk meminta
nasehat. Maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan
nasehat beliau serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan
berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”.[30]
Itulah pentingnya bergaul dengan orang-orang yang sholih. Oleh
karena itu, sangat penting sekali mencari lingkungan yang baik dan
mencari sahabat atau teman dekat yang semangat dalam menjalankan agama
sehingga kita pun bisa tertular aroma kebaikannya. Jika lingkungan atau
teman kita adalah baik, maka ketika kita keliru, ada yang selalu
menasehati dan menyemangati kepada kebaikan.
Kalau dalam masalah persahabatan yang tidak bertemu setiap saat, kita
dituntunkan untuk mencari teman yang baik, apalagi dengan mencari
pendamping hidup yaitu suami atau istri. Pasangan suami istri tentu saja
akan menjalani hubungan bukan hanya sesaat. Bahkan suami atau istri
akan menjadi teman ketika tidur. Sudah sepantasnya, kita berusaha
mencari pasangan yang sholih atau sholihah. Kiat ini juga akan membuat
kita semakin teguh dalam menjalani agama.
Demikian beberapa kiat mengenai istiqomah.
Semoga Allah
senantiasa meneguhkan kita di atas ajaran agama yang hanif (lurus) ini.
Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di
atas agama-Mu.
***
Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 20 Dzulhijah 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 246, Darul Muayyid, cetakan pertama, tahun 1424 H.
[2] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 5/304, Mawqi’ At Tafasir.
[3] Ini pendapat Mujahid, As Sudi dan Zaid bin Aslam. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 7/177, Dar Thoyyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
[4] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/177.
[5] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 245.
[6] HR. Muslim no. 38.
[7] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 246.
[8] Idem
[9] HR. Bukhari no. 4699 dan Muslim no. 2871, dari Al Barro’ bin ‘Azib.
[10] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4/502.
[11] Malaikat Jibril disebut ruhul qudus oleh Allah agar
beliau tersucikan dari segala macam ‘aib, sifat khianat, dan kekeliruan
(Lihat Taisir Al Karimir Rohman, ‘Abdurrahman bin Nashir As
Sa’di, hal. 449, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H).
Sehingga tidak boleh dikatakan bahwa Jibril memanipulasi ayat atau
menyatakan bahwa Al Qur’an adalah perkataan Jibril dan bukan dari Allah.
Ini sungguh telah menyatakan Jibril khianat dalam menyampaikan wahyu
dari Allah. Wallahul muwaffiq.
[12] Lihat Wasa-il Ats Tsabat, Syaikh Sholih Al Munajjid, hal. 2-3, Asy Syamilah.
[13] Lihat Jaami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Ibnu Jarir Ath Thobari, 21/438, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.
[14] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/184.
[15] HR. Muslim no. 783, Kitab shalat para musafir dan
qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang kontinu dan amalan
lainnya.
[16] Syarh Muslim, An Nawawi, 6/71, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, tahun 1392 H.
[17] Fathul Baari lii Ibni Rajab, 1/84, Asy Syamilah
[18] HR. Bukhari no. 1152.
[19] HR. Bukhari no. 4564.
[20] Shifatush Shofwah, Ibnul Jauziy, 2/333, Darul Ma’rifah, Beirut, cetakan kedua, tahun 1399 H.
[21] Al Madkhol, 1/164, Mawqi’ Al Islam
[22] Shifatush Shofwah, 1/438.
[23] Idem.
[24] HR. Tirmidzi no. 3522. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[25] HR. Ahmad (3/257). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy (kuat) sesuai syarat Muslim.
[26] HR. Bukhari no. 2101, dari Abu Musa.
[27] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 4/324, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379
[28] Siyar A’lam An Nubala’, 8/435, Mawqi’ Ya’sub.
[29] Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas, Sayyid bin Husain Al ‘Afani, hal. 466, Darul ‘Affani, cetakan pertama, tahun 1421 H
[30] Lihat Shahih Al Wabilush Shoyyib, antara hal. 91-96, Dar Ibnul Jauziy
Sumber : http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/kiat-agar-tetap-istiqomah.html