MENGEJAR WAKTU
Udara mulai
terasa dingin. Kukeluarkan kepalaku dari jendela angkutan umum untuk merasakan
langsung dingin dan sejuknya udara desa.
Sepanjang jalan aku melihat bunga orange bermekaran.
Seketika ingatanku mengarah pada seseorang, bergegas aku mengeluarkan hp
melihat catatan yang aku tandai pada tanggal 31. Desember!! Sudah Desember. Ya,
bulan penutup telah datang. 2014 Seperti melaju dengan kecepatan cahaya. 2014
Akan pergi meninggalkan cerita untuk setiap insan yang menggunakan jatah
usianya setahun ini. Pikiranku mulai terbang keberbagai masa. Melintasi memori
ketika aku menangis tidak mau disuruh ibu untuk tidur siang. Melintasi memori
ketika aku tertawa dengan sahabat SMP ku dibawah pohon jambu. Melintasi memori
ketika aku bahagia menjuarai perlombaan puisi di Kabupaten. Melintasi memori
ketika aku terpuruk kehilangan teman – teman yang terlebih dahulu kembali
kepada – Nya. Melintasi memori mencekam disaat senior marah – marah karena
kesalahan kami sebagai junior. Melintasi memori ketika aku harus mendiami
sahabat kecilku yang berakhir kurang menyenangkan. Melintasi memori ketika aku
melukai hati ibuku dan membuatnya menangis. Melintasi memori ketika aku bersimpuh
dihadapan – Nya, memohon ampunan dan perlindungan - Nya. Namun aku kembali
mengulangi kesalahan yang sama. Aku malu.
Ada yang
mengalir di ujung mataku. Tahu – tahu air mata keluar begitu saja. Aku kembali
menghela napas sembari mengembangkan senyum di ujung bibir. “Ternyata aku sudah
tua, sisa usiaku tinggal berapa ya??” kataku dalam hati. Aku turun dari
angkutan umum lalu kulangkahkan kaki menghampiri seseorang yang setia
menungguku dari tadi pagi. Aku tahu dia telah lama duduk di kursi kayu itu,
terbukti dengan benang rajutan yang telah berubah wujud menjadi penutup meja
setengah jadi. Aku memeluknya dari belakang, mendekapnya penuh kasih dan
kehangatan. Aku tahu ini tak akan sebaik yang dilakukannya 20 tahun lalu ketika
aku merengek dan menangis. Aku tak mau berkata apa – apa. Aku hanya ingin
berada disampingnya. Mencoba membayar luka yang dulu sering aku goreskan di
hatinya, ibuku.
“Kamu sholat
nak?” tanya ibu dalam. “ Iya buk, saya sholat. Ada apa buk?” “Ayo kita ngaji
dulu sebelum adzan maghrib berkumandang, ibuk rindu kita mengaji bersama.”
Pinta ibu sedikit manja. Bergegas aku ambil quran di tempat sholat lalu kami
mengaji bersama. Sesampainya di surat Al Ashr aku kembali teringat akan 2014
yang bersegera menghapus parasnya.
v
Demi masa
v
Sungguh, manusia berada dalam kerugian
v
Kecuali orang – orang yang beriman dan
mengerjakan kebajikan
serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk
kesabaran
Apa yang telah
aku lakukan selama ini? Apa jasa yang telah aku berikan untuk saudaraku? Apa
manfaat yang telah aku tebarkan di bumi? Apa karya yang telah aku persembahan
untuk negeriku? Apa perubahan yang telah aku lakukan untuk dunia? Apa
pengorbanan yang telah aku berikan untuk agamaku?
Waktu terus
berlalu. Detik, menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun melintas begitu
cepat. Aku begitu kualahan mengejarnya. Hidupku seakan berada diantara dua
tembok yang secara bersamaan menghimpitku dari berbagai sisi. Jika waktu adalah
makhluk bernyawa sepertiku, maka dengan gagah berani aku akan memaksanya untuk
menungguku. Setidaknya menyuruhnya berhenti sejenak untuk memberi aku bonus
waktu supaya aku dapat beristirahat dari semua permasalahan hidup yang tak
kunjung usai. Jika waktu diperjual belikan maka aku akan menjadi orang pertama
yang mengantri untuk membeli waktu setiap paginya. Ilusi!! Betapa lemah diriku
ketika pikiran itu muncul. Lemah, karena aku tak mampu menjadi kusir yang
handal untuk diriku. Aku menengokkan kepalaku ke kanan, aku melihat ibuku masih
meneruskanmembaca Al Quran. Kusandarkan kepalaku dibahunya sambil membatin
membangun komitmenku. Bukan dengan siapa – siapa, aku ingin berkomitmen dengan
diriku sendiri. Jika waktu tak bisa menungguku maka akulah yang harus
memaksakan diri mengejarnya. Cukuplah kesia – siaan ini, aku harus bangun agar
tidak mematahkan harapan orang – orang yang mencintaiku. Terutama wanita hebat
disampingku, ibu.
by: NIQMATUL KURNIATI