Rabu, 23 April 2014

MENGENAL SYIRIK


Makna Syirik dan Pembagiannya
Syirik adalah seorang hamba menjadikan tandingan atau sekutu untuk Allah dalam masalah rububiyyah atau Uluhiyyah atau ‘Asma dan Shifat-Nya. Kesyirikan merupakan kedzaliman yang paling besar. (Tahdzib Tas-hil Aqidah Islamiyyah, Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin, hal. 70)
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar” ( QS. Luqman:13).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan, “Dan tidak ada perbuatan yang lebih jelek dan lebih jahat daripada seorang yang menyamakan Allah, Raja yang menjaga seluruh makhlukNya dengan makhluk yang berasal dari tanah. Menyamakan Allah yang mengatur segala urusan dengan makhluk yang tidak mengatur urusan sama sekali. Menyamakan Allah yang Maha sempurna dan Maha kaya dengan makhluk yang penuh kekurangan dan miskin dari segala sisi. Menyamakan Allah yang memberikan semua nikmat, baik berupa agama dan dunia, dengan makhluk yang tidak bisa memberikan nikmat walaupun sebesar dzarrah. Maka kedzaliman mana lagi yang lebih besar daripada perbuatan syirik?” (Taisir Karimirrahman, tafsir surat Luqman ayat 13)
Perbuatan syirik dibagi menjadi dua, yaitu syirik akbar dan syirik asghar.
Syirik asghar adalah setiap perbuatan kesyirikan yang disebutkan dalam dalil-dalil syariat, tetapi belum sampai derajat syirik akbar. (Tahdzib Tas-hil Aqidah Islamiyyah, hal. 70)
Definisi syirik asghar yang lain adalah sarana (perantara) yang akan mengantarkan kepada syirik akbar (Lihat Mutiara Faidah Kitab Tauhid, Ustadz Abu Isa, cetakan pustaka muslim, edisi revisi hal.36). Dinamakan syirik kecil karena perbuatan tersebut belum membatalkan iman, adapun dosanya tetap lebih besar daripada dosa besar yang lain, semisal membunuh, mencuri, berzina, atau durhaka kepada orang tua.
Perbedaan Syirik Akbar dan Syirik Asghar
Perbedaan antara syirik akbar dan syirik asghar, antara lain :
1.     Syirik akbar menyebabkan pelakunya murtad (keluar dari islam), sedangkan syirik asghar tidak, akan tetapi mengurangi kadar tauhidnya.
2.     Pelaku syirik akbar kekal di neraka, sedangkan pelaku syirik asghar terancam masuk neraka, tetapi tidak kekal.
3.     Syirik akbar menghapuskan pahala seluruh amal, sedangkan syirik asghar hanya menghapus amal yang tercampur dengan syirik tersebut.
4.     Pelaku syirik akbar boleh diperangi, sedangkan pelaku syirik asghar tidak boleh diperangi.
5.     Syirik akbar tidak diampuni dosanya, sedangkan syirik asghar memungkinkan untuk diampuni dosanya, menurut sebagian ulama.
Ancaman bagi pelaku syirik akbar dan syirik asghar tersebut berlaku apabila mereka tidak mau bertaubat sebelum matinya. (Mutiara Faidah Kitab Tauhid, hal.37)
Bentuk-bentuk Syirik Asghar
1. Riya’
Riya’ adalah memperlihatkan amalan ibadah kepada manusia atau memperbagus amalan di hadapan manusia agar dipuji. Termasuk di dalamnya adalah memperdengarkan amalan kepada orang lain agar mendapat pujian (sum’ah). Jika sesorang melakukan seluruh amalnya agar dipuji dan dilihat manusia, tidak sedikit pun mengharap wajah Allah, maka dia telah melakukan kemunafikan akbar dan syirik akbar yang mengeluarkannya dari agama islam. Sedangkan jika seseorang dalam ibadahnya diniatkan untuk Allah sekaligus di dalamnya terdapat riya’ agar dilihat manusia, maka dia terjatuh ke dalam syirik asghar yang  mengurangi kadar tauhidnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kuberitahu tentang sesuatu yang lebih aku khawatirkan menimpa kalian daripada fitnah Dajjal? Para sahabat berkata, “Tentu saja”. Beliau bersabda, “Syirik yang tersembunyi, yaitu ketika sesorang berdiri mengerjakan shalat, dia perbagus shalatnya karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya “ (H.R Ahmad dalam Musnadnya, dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani)
Demikian contoh riya’dalam shalat. Ibadah-ibadah yang lain juga memungkin tercampuri riya’.
2. Bersandar kepada Sebab
Yaitu tidak bertawakal kepada Allah Ta’ala. Tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah Ta’alasetelah mengambil sebab-sebab yang diijinkan secara syari’at. Misalnya jika kita sakit, maka kita ke dokter (mengambil sebab), setelah itu kita menyerahkan kesembuhan kita kepada Allah. Apa yang dikehendaki Allah, pasti terjadi dan yang tidak dikehendakiNya tidak akan terjadi. Jika seorang bersandar kepada sebab disertai keyakinan sebab tersebut yang mendatangkan manfaat dan madharat, maka dia terjatuh kedalam syirik akbar. Namun, jika seorang bersandar kepada sebab dan meyakini bahwa Allah yang mendatangkan manfaat dan madharat, maka dia terjatuh ke dalam syirik asghar.
3. Tathoyur (Anggapan Sial)
Tathoyur adalah menganggap sial seseorang atau benda tertentu atau selainnya. Contohnya adalah apa yang dilakukan pada masa jahiliyyah, jika seorang akan bepergian maka dia melepaskan seekor burung dan mengamatinya. Jika burung tersebut terbang ke arah kanan, maka dianggap pertanda baik, sehingga orang tersebut melaksanakan niatnya untuk bepergian. Tetapi jika burung tersebut terbang ke arah kiri, maka dianggap pertanda buruk, sehingga dia mengurungkan niatnya untuk bepergian. Maka termasuk tathoyur adalah keyakinan sebagian masyarakat kita yang menganggap bulan Suro (Al Muharram) adalah bulan sial, dan keyakinan yang semisalnya. Jika seorang melakukan tathoyur disertai keyakinan sesuatu tersebut yang mendatangkan manfaat dan madharat, maka dia terjatuh ke dalam syirik akbar. Namun, jika melakukan tathoyur disertai keyakinan bahwa Allah yang mendatangkan manfaat dan madharat, maka dia terjatuh ke dalam syirik asghar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,” Thiyarah(tathoyur) adalah syirik, thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, Tirmidzi mengatakan hadits ini hadits hasan shahih).
4. Ruqyah Syirkiyah
Ruqyah adalah bacaan yang digunakan sebagai perlindungan untuk mengangkat bala’ atau menolaknya. Ruqyah syar’iyyah, bisa berupa dzikir dan do’a yang berasal dari Al Qur’an dan sunnah Nabi yang dibaca untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain untuk melindungi dari kejelekan dengan berbagai jenisnya. Dan disyaratkan dalam ruqyah syar’iyyah, adanya keyakinan bahwa ruqyah tersebut hanyalah sebagai sebab dari berbagai sebab yang disyariatkan, sedangkan manfaat dan kesembuhan ada di tangan Allah Ta’ala. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Perlihatkanlah kepadaku ruqyah kalian, tidak mengapa ruqyah selama tidak ada unsur kesyirikan didalamnya”(HR. Muslim). Adapun ruqyah yang dilarang adalah ruqyah muharamah dan ruqyah syirkiyah. Disebut ruqyah muharamah jika bacaannya tidak diambil dari Al Qur’an dan hadits yang shahih, tetapi berupa mantra-mantra yang tidak dipahami maknanya. Jika meyakini bahwa ruqyah sebagai sebab yang mendatangkan manfaat dan menolak madharat dengan sendirinya, maka hukumnya syirik akbar.
5. Tamimah
Tamimah(jimat) adalah benda yang digantungkan atau dikalungkan pada anak kecil atau selainnya, yang digunakan untuk melindunginya dari bencana, baik untuk mengangkat bencana atau menolak bencana. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa menggantungkan tamimah(jimat), maka dia telah berbuat syirik”.(HR Ahmad dalam Musnadnya IV/154, Syeikh Al-Albani menshahikannya dalam Ash-Shahihah no.492). Tidaklah pantas seorang muslim menggantungkan dirinya kepada benda mati yang tidak bisa apa-apa, dengan meninggalkan Allah yang senantiasa melindungi hambaNya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung” (QS. Al Imran : 173)
6. Bersumpah dengan Nama Selain Allah
Sumpah adalah pengagungan terhadap nama yang digunakan untuk bersumpah. Semisal dengan perkataan,‘Demi Kehormatanku’, ‘Demi cintaku padamu’, dan yang semisalnya. Maka, barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, berarti telah berbuat kesyirikan. Karena dia telah menjadikan tandingan bagi Allah ta’aladalam pengagungan yang tidaklah layak ditujukan pengagungan tersebut, kepada selain Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka di telah berbuat kekafiran atau berbuat syirik” (HR. Tirmidzi no. 1535, Al-Arnauth mengatakan hadist ini, shahih). Yang dimaksud disini adalah syirik asghar, karena orang yang bersumpah dengan selain nama Allah, walaupun dia tidak berniat mengagungkan selain Allah tersebut, tetapi bisa mengantarkannya untuk mengagungkan selain Allah tersebut dengan pengagungan yang berlebihan. Sehingga, jika orang yang bersumpah ini mengagungkan selain Allah itu dengan pengagungan yang sama dengan Allah atau bahkan lebih, maka dia telah terjatuh ke dalam syirik akbar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,“Ketahuilah sesungguhnya Allah melarang kalian untuk bersumpah dengan nama nenek moyang kalian. Barangsiapa ingin bersumpah, maka bersumpahlah dengan nama Allah atau lebih baik diam” (HR. Al-Bukhari no. 5643, 6155, 6156 dan Muslim no. 3104).
7. Menyekutukan Allah dengan MakhlukNya dengan Perkataan ‘dan’ atau Semisalnya.
Yang dimaksud adalah tidak boleh mensejajarkan penyebutan Allah ta’ala dengan makhlukNya dalam perkara-perkara yang makhluq punya peran untuk terjadinya perkara tersebut. Perkataan ‘dan’ itu menunjukkan kesejajaran, bukan menunjukkan urutan atau tingkatan. Misalnya adalah perkataan ‘ini adalah kebaikan yang datang dari Allah dan anda’, atau ‘ini tidaklah terjadi kecuali karena kehendak Allah dan kehendak Anda’, ‘saya sembuh karena pertolongan Allah dan dokter’ dan semisalnya. Maka siapa yang telah mengucapkan kalimat-kalimat tersebut, dia telah terjerumus dalam syirik asghar. Karena Allah ta’ala sajalah yang mengatur alam semesta, makhluq hanya sebagai perantara saja, dalam terjadinya perkara tersebut. Sehingga, jika ingin menyebutkan peran makhluk, katakanlah ‘ini adalah kebaikan yang datang dari Allah kemudian dari anda’, dan semisalnya. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Janganlah kamu mengatakan, ‘atas kehendak Allah dan kehendak si Fulan, tetapi atas kehendak Allah kemudian kehendak si fulan”. (HR. Abu Dawud no. 4980, Syeikh Al-Albani menshahikannya dalam Ash-Shahihah no. 137).
8. Mengaitkan Turunnya Hujan dengan Bintang
Semisal perkataan, ‘hujan turun karena bintang ini dan itu’. Jika seorang mengatakannya disertai keyakinan bahwa bintang tersebutlah yang menyebabkan hujan dengan sendirinya tanpa kehendak Allah, maka dia telah terjerumus kedalam syirik akbar. Dan jika seorang mengatakannya namun meyakini yang menurunkan hujan adalah Allah, bintang tersebut sebagai sebab saja, maka hukumnya syirik asghar. Karena dia telah menjadikan sebab yang tidak dijadikan Allah ta’ala sebagai sebab.
(Diringkas disertai perubahan dan tambahan dari kitab Tadzhib Tas-hil Aqidah Islamiyyah, hal 152-170).
Demikian sebagian dari bentuk-bentuk syirik asghar. Mudah-mudahan dengan mengenalnya, kita dapat menghindarinya sejauh-jauhnya. Sebagaimana perkataan shahabat Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu,“Dahulu manusia bertanya kepada Rasulullah tentang hal-hal yang baik, tapi aku bertanya kepada beliau tentang hal-hal yang buruk supaya keburukan itu jangan sampai menimpaku”. Ya Allah kami memohon perlindungan kepada-Mu jangan sampai kami menyekutukan-Mu dalam keadaan kami mengetahuinya dan kami memohon ampunan kepada-Mu untuk dosa yang tidak kami ketahui. Wa shallallahu ‘ala Muhammad, wa ‘ala alihi wa ashaabihi wa sallam.
Sumber: buletin.muslim.or.id

Rabu, 09 April 2014

Allah dan Impian Manusia

Mimpi, apakah mimpi itu suatu kebutuhan? kewajiban? atau keharusan? 

"Mimpi menjadikan kita bukan hanya seonggok daging yang punya nama, hanya mimpi dan cita-cita yang membuat manusia istimewa di mata Sang Pencipta dan yang bisa dilakukan seorang makhluk bernama manusia terhadap mimpi-mimpi dan keyakinannya adalah mereka hanya tinggal mempercayainya." 

Mungkin kita sering melihat, membaca, atau memperhatikan kata-kata di atas. Kekuatan mimpi dan keyakinan merupakan salah satu cara kita untuk beriman kepada Allah SWT, karena dengan mimpi berarti kita telah percaya terhadap takdir Allah di masa mendatang. Dengan bermimpi berarti kita berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik di masa mendatang karena ketika kita hanya pasrah dan mengikuti kehidupan ini seperti "aliran air yang mengalir" tidak ada bedanya kita dengan makhluk Allah yang lainnya, karena itu mimpi merupakan salah satu pembeda manusia dengan makhluk Allah lainnya karena manusia punya akal pikiran dan keinginan. Mimpi menjadikan manusia tidak hanya seonggok daging yang punya nama. Walaupun Allah telah menetapkan takdir untuk manusia di masa mendatang, tapi kita bisa merubahnya dengan usaha dan kerja keras, di situlah beberapa urgentisitas kenapa kita harus memiliki mimpi.
 
 
Untuk menggapai cita-cita, tujuan, atau harapan dalam hidupnya manusia senantiasa berusaha (ikhtiar) dan menyusun beberapa rencana, target, dan langkah-langkah yang dilakukan. Ketika kita sudah mempunyai rencana apa yang akan dilakukan ke depan berarti kita telah berusaha untuk memantaskan diri terhadap impian kita yang besar itu. Karena gaya atau pergerakan akan terjadi jika terdapat usaha yang dilakukan sama seperti Hukum Fisika yang menyatakan bahwa W=F.s berarti usaha berbanding lurus dengan gaya ketika kita menginginkan gaya atau perubahan yang besar maka usaha yang kita lakukan harus besar juga. Allah akan melihat usaha dari hambanya, setelah kita memaksimalkan ikhtiar hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah doa, karena kekuatan doa amatlah besar. Ketika kita punya keyakinan dan usaha percayalah bahwa Allah akan memberi balsan terhadap apa yang sudah dilakukan.   


Mimpi merupakan salah satu sarana untuk kita dapat meningkatkan keimanan, mungkin itulah yang harus menjadi acuan kita agar dapat bahagia di dunia dan akhirat karena sesungguhnya ketika kita mengejar akhirat maka dunia juga akan kita dapatkan. Mari kita berlomba-lomba dalam mencari kebaikan, agar kita tidak menjadi orang yang merugi kelak. Ketika usaha dan berdoa dalam menggapai mimpi sudah dilakukan maka kita hanya tinggal berserah diri karena kita hanya dapat merencanakan dan Allah lah yang menentukan karena rencana Allah SWT lebih hebat dari apa yang kita pikirkan. 

Rencana Allah SWT lebih hebat

Apa yang diharapkan oleh seorang hamba boleh jadi hal itu sesuatu yang buruk baginya. Sebaliknya, apa yang tidak diharapkan boleh jadi itulah yang terbaik untuk kita.
Perhatikanlah firman Allah SWT yang mulia ini.

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu mencintai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu. (Mengapa?) Allah maha mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Albaqarah: 216).

Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa, rencana Allah SWT terhadap diri kita lebih hebat dari rencana yang kita buat. Oleh sebab itu, logis jika kita dilarang berhenti berharap karena hal itu tidak akan mendatangkan kebaikan apapun.

Ada di antara kita, bahkan boleh jadi kita pernah melakukannya. Mengeluh dan dengan tega  mengatakan: “Saya tidak memiliki apa-apa dan siapa-siapa lagi dalam hidup ini”.

Padahal, bumi masih gratis untuk kita pijak. Langit tidak dibayar memayungi kita. Oksigen masih tersedia untuk nafas kita. Angin masih kita rasakan hembusannya. Waktu masih tersisa untuk berkarya. Raga masih ada bukti kita nyata. Lalu, pantaskah kita mendustakan nikmat Allah SWT tanpa ada alasan? Allah SWT berulang kali mempertanyakan persoalan ini agar kita senantiasa bersyukur dan berpikir (perhatikan QS. Ar Rahman).


Maka dari itu semua kita dapat mengetahui dan meyakini bahwa ketika kita hidup tanpa IMPIAN kita hanya lah orang tersesat yang tidak memiliki tujuan dan ketika sampai pada suatu titik kita tidak dapat memaknai apa yang telah dilakukan dan untuk apa kita berada di dunia tanpa ada tujuan dan tanpa Allah manusia dan impiannya bukanlah apa-apa.


Bermimpilah karena dengan proses pencapaian itu kita dapat belajar banyak hal tentang kebesaran Allah. 

Sabtu, 05 April 2014


Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat : 56)
Jangan Terlalu Sempit Memahami Ibadah
   Sebagian orang bertanya dengan maksud meragukan penjelasan ayat di atas. Apa benar kita diciptakan untuk beribadah saja? Lalu apa kita harus sholat terus sepanjang hidup kita? Atau bersujud terus melewati hari-hari kita?
Allah Ta’ala tidak mungkin salah dalam berfirman. Begitu juga dengan penjelasan para ulama tentang ayat di atas bukanlah suatu penjelasan yang keliru. Hal yang harus diluruskan adalah pandangan dan pemahaman kita dalam memaknai kata “ibadah”. Ibadah bukan hanya sholat, zakat, puasa dan haji semata.
Ibnu Taimiyah rahimahullahu mendefinisikan makna ibadah dengan definisi yang sangat bagus. Kata beliau, ibadah adalah segala perkara yang dicintai oleh Allah Ta’ala, baik berupa perkataan ataupun perbuatan, yang nampak (dzahir) ataupun yang tidak nampak (bathin). (lihat Al ‘Ubudiyah, Ibnu Taimiyah)
Bekali diri dengan Ilmu
   Bagaimana cara mengetahui bahwa perkara ini dicintai Allah Ta’ala atau tidak? Bagaimana membedakan bahwa perkara itu mendatangkan keridhaan-Nya atau justru mengundang murka-Nya? Inilah hikmah mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas memerintahkan umatnya untuk belajar, mencari ilmu, mempelajari tentang agamanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menuntut ilmu agama adalah perkara yang wajib bagi setiap muslim” (HR. Ibnu Majah, shahih).
Tujuan utamanya adalah agar seorang hamba bisa mengetahui mana perkara-perkara yang dicintai oleh Allah Ta’ala yang kemudian bisa dia amalkan, dan dia bisa mengetahui mana perkara yang dimurkai oleh Allah yang kemudian dia bisa meninggalkannya. (Lihat Tsamaratul Ilmi Al Amal, Syaikh Abdurrozzaq Al Badr)
Kaidah dalam Mendefinisikan Ibadah
     Hukum suatu perbuatan di dalam agama Islam ada lima, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Secara asalnya, ibadah dalam agama islam hanya dengan dua bentuk pengamalan saja, yaitu :
1. Mengerjakan perkara yang wajib atau mengerjakan perkara yang sunnah, contohnya adalah seseorang mengerjakan sholat baik yang sholat wajib atau sunnah, berpuasa baik puasa yang wajib atau sunnah dll,
2. Meninggalkan perkara yang haram atau meninggalkan perkarayang makruh, contohnya adalah seseorang meninggalkan kesyirikan, menjauhi perbuatan zina, menjauhi minum khamr dll.
Adapun semata-mata perkara mubah pada dasarnya tidak bisa dijadikan sebagai ibadah. Perkara yang sifatnya mubah hukumnya relatif, mengikuti niat dan tujuan dari pelakunya.
1. Apabila dia niatkan untuk membantu mengerjakan perkara wajib/sunnah atau membantu meninggalkan perkara makruh/haram maka perkara mubah tersebut akan berpahala dan dinilai sebagai sebuah ibadah.
2. Apabila dia niatkan perkara mubah tersebut untuk membantu mengerjakan perkara haram atau membantu meninggalkan perkara wajib maka pelaku perkara mubah tersebut akan berhak mendapatkan dosa.
3. Apabila ketika mengerjakan perbuatan mubah seseorang tidak memiliki tujuan dan maksud apapun, melainkan hanya sebatas perbuatan mubah itu saja dan tidak ada tujuan dan maksud lainnya, maka pelaku perbuatan mubah tersebut tidak berhak mendapatkan pahala dan tidak pula mendapat dosa. (Penjelasan Syaikh Abdul Aziz Ar Rays hafizhahullah dalam rekaman kajian Al Muqaddimaat Fii Dirasatit Tauhid)
Hal ini akan lebih jelas jika disertai dengan contoh, misalnya adalah perbuatan makan. Makan adalah perkara yang mubah. Seseorang tatkala makan, jika dia berniat mengamalkan perintah Allah Ta’ala dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan makanlah dan minumlah kalian” (QS. Al A’raaf : 31). Dan dia berniat agar badannya sehat dan kuat untuk bisa mengerjakan sholat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya, maka perbutan makannya tadi bernilai ibadah.
Sedangkan orang yang makan yang berniat untuk bisa memiliki badan yang kuat dan kemudian bisa mendzalimi (misal: memukuli) orang-orang di sekitarnya dengan kekuatannya, atau bisa kuat mencuri, atau bisa berzina maka perbuatan makannya tadi dihitung sebagai dosa.
Adapun orang yang makan berniat sebatas kebiasaan dan hanya untuk mengobati rasa laparnya semata, maka yang dia dapatkan adalah apa yang dia inginkan tersebut, yaitu rasa kenyang (tidak mendapatkan dosa dan tidak pula pahala). (Syarah Arba’in Nawawiyah Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dengan sedikit penambahan)
Penting !!! Ibadah : Aktifitas yang Harus Benar Niat dan Tata Caranya
     Ibadah adalah perpaduan benarnya amalan dzahir dan benarnya amalan bathin. Amalan dzahir yang benar adalah amalan yang sesuai dengan perintah Allah Ta’ala dan mencocoki tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Amalan bathin yang benar adalah ikhlas semata-mata ibadah tersebut untuk Allah Ta’ala dan mengharapkan pahala dari Allah Ta’ala.
Perkara niat merupakan perkara yang teramat penting untuk dibahas. Inilah rahasia mengapa Islam sangat perhatian terhadap pembahasan niat, di atas pembahasan tentang perkara agama yang lainnya. Niat ada di dalam hati, tidak nampak secara dzahir, namun meskipun tidak nampak, niat sangat menentukan balasan yang akan diterima.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Setiap amalan manusia tergantung dengan niatnya, dan setiap manusia (akan mendapatkan balasan dari Allah) sesuai dengan apa yang dia niatkan…” (Muttafaqun ‘alaihi)
Ibadah itu luas, namun tetap perlu ditegaskan bahwa tata cara ibadah yang pokok yang bersifat ritual tidak boleh sembarangan, meskipun niatnya baik dan benar. Ternyata niat yang baik saja tidaklah cukup, harus disertai dengan amalan yang benar, yaitu sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, harus ada dalilnya dari Al Quran atau dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beramal (ibadah) dengan amalan yang tidak ada petunjuknya dari kami, maka amalan tersebut akan tertolak (tidak diterima sebagai ibadah)”(HR. Muslim)
Contoh ibadah pokok yang tidak boleh sembarangan : Berzikir
     Ketika seseorang mau berpergian, ia terbiasa membaca surat Al Fatihah sebanyak 3 kali. Berzikir pada dasarnya adalah sesuatu yang disyari’atkan. Akan tetapi, menentukan bacaan tertentu seperti di atas, yakni membaca Al Fatihah 3 kali setiap akan berpergian, membutuhkan dalil khusus dan tidak boleh sembarangan. Tidak boleh pula beralasan “yang penting niatnya baik”. Karena ibadah pokok yang bersifat ritual harus sesuai dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya ajarkan.
Contoh perbuatan bernilai ibadah : Naik kendaraan
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada Rasul, dan kepada Ulil Amri (pemerintah) kalian” (QS An Nisa : 59)
Salah satu perintah Allah Ta’ala dalam ayat di atas adalah perintah kepada para hamba-Nya untuk taat kepada peraturan pemerintah. Misal : Seorang pengendara motor mentaati segala bentuk peraturan lalu lintas (misalnya dengan mengenakan helm, membawa SIM lengkap dengan STNK-nya, dan mentaati rambu dan lampu lalu lintas dan lain-lain) dengan niat tulus mengamalkan firman Allah ta’ala tersebut, yaitu mentaati peraturan pemerintah, maka ini akan dinilai oleh Allah ta’ala sebagai amalan ibadah dan upaya pendekatan diri kepada Allah ta’ala.
Contoh lain : Bekerja Mencari Nafkah
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada istri dengan cara yang ma’ruf.” (QS. Al Baqarah : 233)
Salah satu perintah Islam kepada para suami adalah perintah bekerja mencari nafkah untuk istri dan anaknya. Seseorang suami yang bekerja membanting tulang dengan niat tulus ikhlas mengamalkan firman Allah ta’ala di atas, dengan maksud agar dirinya dan keluarganya bisa hidup dan bisa melaksanakan ibadah kepada Allah Ta’ala, maka perbuatannya itu bernilai ibadah kepada Allah ta’ala dan Allah menjajikan pahala baginya.
Contoh lain : Menyingkirkan Gangguan di Jalan
       Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya iman terdiri dari tujuh puluh sekian cabang, cabang tertinggi adalah perkataan Laa ilaha illallahu, dan cabang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.”(HR. Muslim)
Salah satu perintah Islam kepada kaum muslimin adalah perintah untuk menyingkirkan gangguan dari jalan, boleh jadi berupa duri, atau kulit pisang, atau sampah atau gangguan lainnya. Seseorang yang menyingkirkan gangguan dari jalan dengan niat tulus ikhlas mengamalkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, dengan maksud agar tidak ada kaum muslimin yang terganggu atau mengalami kecelakaan, maka perbuatannya tersebut bernilai ibadah kepada Allah Ta’ala dan Allah menjanjikan pahala baginya.
Subhaanallah, terlalu banyak jika diuraikan jenis ibadah satu per satu di sini. Semoga Allah Ta’ala berkenan menganugerahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat, sehingga kita bisa memahami mana saja perkara ibadah yang Allah cintai, dan yang lebih penting lagi adalah agar kita bisa mengamalkannya di kehidupan kita sehari-hari, sehingga kita bisa menjadikan seluruh hidup kita ini bernilai ibadah di sisi Allah Ta’ala.
Sumber: http://buletin.muslim.or.id/

Rabu, 02 April 2014

NIAT


Suatu amalan ibadah tidaklah akan diterima kecuali  jika terkumpul dua syarat, yaitu ikhlas dan ittiba’. Ikhlas berkaitan dengan amalan hati yaitu niat, sedangkan ittiba’ adalah berkaitan dengan amalan dzahir seseorang, apakah ia sesuai tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah atau tidak. Dengan kata lain, niat ikhlas adalah tolak ukur ibadah hati dan ittiba’ur rasul adalah tolak ukur ibadah dzahir.
Banyak orang yang setelah mengenal kebenaran, tahu mana yang sunnah dan mana yang bid’ah, mereka bersemangat memperbaiki amalan dzahir agar mencocoki Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal. Tidaklah dipungkiri bahwa hal ini merupakan amalan yang baik. Akan tetapi sayangnya kita sering kurang memperhatikan masalah yang berhubungan dengan hati, yaitu niat. Sehingga tema ini kami angkat dalam edisi ini.
Definisi Niat
An Niat (niat) secara bahasa artinya adalah al qashdu (maksud) dan al iraadah (keinginan) atau dengan kata lain qashdul quluub wa iraadatuhu (maksud dan keinginan hati). Sedangkan definisi niat secara Istilah adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di, beliau berkata, “Niat adalah maksud dalam beramal untuk mendekatkan diri pada Allah, mencari ridha dan pahalaNya.” (Bahjah Quluubil Abraar wa Qurratu ‘Uyuunil Akhyaar Syarah Jawaami’ul Akhbar hal. 5)
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh menjelaskan bahwa makna niat dalam istilah para ulama ada dua macam:
  1. Niat yang terkait dengan ibadah. Inilah istilah yang dimaksudkan para ahli fiqih dalam berbagai hukum ketika mereka mengatakan, “Syarat yang pertama: niat”. Yang mereka maksudkan adalah niat yang ditujukan untuk ibadah yang membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain. Misalnya, untuk membedakan shalat dari puasa, dan membedakan shalat wajib dari shalat sunah.
  2. Niat yang terkait dengan kepada siapa ibadah tersebut ditujukan. Niat dengan pengertian ini sering diistilahkan dengan ikhlas. (Syarah Al Arba’in An Nawawiyyah fil Ahadits Ash Shahihah an Nabawiyyah –Majmu’atul Ulama’- hal.31-32)
Hadits tentang Niat
Dari Umar radhiallahu‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Semua amal itu tergantung niatnya dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan RasulNya. Barangsiapa yang hijrahnya itu karena dunia yang ingin ia dapatkan  atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa semua amalan apakah itu amalan baik maupun buruk, maka pasti diiringi dengan niat. Jika seseorang berniat melakukan amalan yang hukum asalnya mubah dengan niat yang baik, maka dia diberi pahala dengan niatnya tersebut. Jika ia berniat dengan maksud yang buruk, maka ia akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.
Tempat Niat
Tempat niat adalah di dalam hati, dan An Nawawi berkata,”Tidak ada khilaf dalam hal ini.” Ibnu Taimiyyah mengatakan,”Niat tidaklah dilafadzkan.” . Dan jelas bagi kita bahwa niat adalah amalan hati dan bukan amalan dzahir. Adapun melafadzkan niat, maka tidak dicontohkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam , tidak pula para sahabat beliau, dan tidak terdapat hadits dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan bahwa jika beliau hendak shalat atau berwudhu beliau mengucapkan, “Nawaitu an ushalli…(aku berniat untuk sholat…)” atau “Nawaitu an atawadhdha’…(Aku berniat untuk wudhu…)” atau “Nawaitu an aghtasil…(Aku berniat untuk mandi)” dan sebagainya.
Beribadah dengan Niat Mendapatkan Perkara Dunia
Perlu diketahui bahwasanya amalan ibadah ada dua macam:
  1. Amalan yang wajib diniatkan untuk Allah dan tidak boleh terbetik dalam hati pelakunya untuk mendapatkan balasan berupa perkara dunia sama sekali. Mayoritas amalan ibadah adalah demikian, semisal: shalat, zakat, dzikir, dan sebagainya.
  2. Amalan ibadah yang Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan balasannya di dunia dengan tujuan untuk memotivasi. Misalnya adalah sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam,“Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah bersilaturahim.” (Muttafaqun ‘alaih)
Barangsiapa yang menginginkan balasan dunia dalam keadaan meyakini bahwa itulah motivasi dari Allah, maka diperbolehkan. Karena tidaklah Allah memotivasi dengan balasan dunia, kecuali Allah mengijinkan hal tersebut menjadi hal yang dicari dan dituntut. Oleh karena itu barangsiapa bersilaturahim dengan mengharap wajah Allah dan juga menginginkan balasan di dunia dengan banyaknya rizki serta dipanjangkan umurnya, maka hukumnya boleh.
Jika telah jelas bahwa orang yang demikian tidak dihukumi sebagai musyrik, lalu yang menjadi pertanyaan adalah apakah sama orang yang bersilaturahim dengan niat mendapat balasan dunia disamping ia meniatkannya karena Allah dibandingkan orang yang hanya meniatkannya untuk Allah dan tidak menginginkan balasan dunia? Jawabannya adalah tidak sama. Pahalanya akan berbeda. Barangsiapa yang niatnya ikhlas karena Allah maka pahalanya akan bertambah besar sebanding dengan menguatnya keikhlasan. (Syarah Al Arba’in An Nawawiyyah fil Ahadits Ash Shahihah an Nabawiyyah –Majmu’atul Ulama’- hal.34-35)
Ketika Niat Ikhlas Tercampur Riya’
Ada tiga keadaan dalam hal ini:
  1. Ketika niat utama yang mendorong seseorang melakukan sebuah amalan adalah riya’, maka hal ini merupakan kesyirikan dan ibadahnya batal.
  2. Ketika pada awal ibadah niatnya ikhlas, kemudian di tengah ibadah tercampur riya’, maka ada dua keadaan:
    a. Jika ia berusaha melawan rasa riya’ tersebut dan tidak terus menerus dalam rasa riya’, maka riya’ tersebut tidak berpengaruh pada amalannya.
    b. Jika ia tidak melawan rasa riya’ dan terus menerus dalam keadaan riya’, maka hukum ibadah dalam keadaan ini:
    - Jika ibadah tersebut bagian akhirnya tidak terbangun atas bagian awalnya (tidak serangkaian), maka amalan yang tidak tercampur riya’ adalah sah dan amalan yang tercampur riya’ batal. Contoh: seseorang ingin bersedekah sebanyak Rp 200.000,- . Pertama, ia sedehkan Rp 100.000,- dengan niat ikhlas. Kemudian ia sedekahkan lagi Rp 100.000,- , tetapi dengan niat riya’ . Maka sedekahnya yang pertama sah, dan sedekahnya yang kedua batal.
    - Jika ibadah tersebut bagian akhirnya terbangun dari bagian awalnya (satu rangkaian ibadah), maka keseluruhan ibadah tersebut batal. Contoh: seseorang shalat dua rakaat dengan niat awal ikhlas karena Allah. Kemudian muncul rasa riya’ di rakaat yang kedua dan dia tidak melawannya serta terus menerus dalam keadaan riya’hingga selesai shalat, maka batallah sholatnya dari awal hingga akhir.
  3. Ketika muncul riya’, tetapi setelah ibadah selesai, maka tidak membatalkan amalan.
(At Tauhid al Muyassar hal. 97-98, dengan sedikit perubahan)
Beberapa Faidah dan Urgensi Niat
Diantara faidah dan urgensi niat adalah:
  1. Niat berfungsi untuk membedakan antara amalan ibadah yang satu dengan yang lain. Misalnya, seseorang shalat dua rakaat , bisa jadi ia meniatkannya untuk shalat fardhu, atau shalat sunah rawatib, atau tahiyatul masjid. Maka, dengan niat, seseorang membedakan apakah ia melakukan hal yang wajib ataukah hal yang sunah.
  2. Niat berfungsi untuk membedakan perkara ibadah dan perkara adat kebiasaan manusia. Misalnya seseorang yang mandi, bisa jadi ia meniatkannya hanya sekedar untuk membersihkan badan (yang nilainya hanyalah sekedar kebiasaan saja) atau bisa jadi ia berniat untuk menghilangkan hadats besar (yang nilainya adalah ibadah).
  3. Benarnya niat menunjukkan ikhlas kepada Allah.
  4. Niat yang benar merupakan sebab mendapatkan pahala.
Niat merupakan syarat sebuah amal membuahkan pahala. Amalan mubah seperti makan, minum, dan sebagainya, jika diiringi dengan niat yang benar, semisal karena memenuhi perintah Allah da RasulNya serta untuk membantu dalam melaksanakan ketaatan, maka bisa menjadi amal shalih dan pelakunya diberi pahala.(Al Aqd Ats Tsamiin fi Syarhi Mandzumah Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin fi Ushuulil Fiqhi wa Qawaa’idihi hal.214-215) 

Sumber:http://buletin.muslim.or.id/