Selasa, 29 November 2011

Muslimah,, yuk berdakwah!!

Seorang muslimah memiliki tanggung jawab dakwah selagi nafasnya masih berhembus. Dakwah bukan pekerjaan kaum ikhwan saja. Dakwah bukan semata menjelaskan materi keagamaan secara lisan, tapi juga keteladanan, nasehat dan motivasi. Dakwah menjadi naluri yang menyatu dalam kepribadian muslim. Oleh karenanya, ia akan lahir secara refleks saat melihat sesuatu yang menghajatkan dakwah.

Para Sahabat menggeluti dakwah dengan tingkat penghayatan maksimal. Berkat kegigihan mereka dalam berdakwah, Islam dapat kita nikmati hari ini. Penghayatan mereka bersatu dengan antusiasme yang demikian kuat untuk tholabul ilm, misalnya menghafal Al-Qur’an, mengumpulkan hadits, membahas aspek-aspek fiqh dan seterusnya.

Dakwah tak bisa dilepaskan dari ilmu, karena ilmu menjadi mata air bagi seorang da’i. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syariat, sementara ilmu dunia bersifat melengkapi. Tanpa ilmu syariat, seorang dai tak mungkin berdakwah. Jika mata air kering, bagaimana mungkin bisa memberi minum orang lain?



Urgensi Dakwah

Urgensi dakwah bagi kita bisa dilihat dari tiga sudut pandang; sisi pelaku, sisi obyek dan sisi penegakan Islam. Ketiganya berkait berkelindan, yang jika dakwah tidak dilaksanakan dengan serius akan menimbulkan dampak buruk bagi ketiga aspek tersebut. Realitas masa kini menjadi cermin nyata lemahnya peran dakwah dalam memperbaiki kondisi masyarakat.

Pertama, sisi pelaku.

Pelaku di sini bermakna setiap jiwa yang berstatus muslim/muslimah. Sebab dakwah merupakan naluri yang akan muncul secara otomatis jika seseorang sadar bahwa dirinya muslimah. Maka bila ada muslimah yang tak punya kesadaran dakwah, dia sedang tidak sadar bahwa dirinya berstatus muslimah.

Dakwah sebagai naluri sama halnya dengan naluri kebencian terhadap babi disebabkan keharamannya. Setiap muslim yang menyadari keislamannya, pasti memiliki naluri kebencian terhadap babi, minuman keras, kecabulan, kezaliman, perjudian, riba dan sebagainya. Sebagaimana naluri kecintaan terhadap kesalihan, kejujuran, keimanan, ketaqwaan, busana muslim, ungkapan islami dan sebagainya. Demikianlah dakwah, akan lahir sebagai naluri jika keislaman kita benar dan sadar berstatus muslimah.

Apalagi modal yang dibutuhkan untuk dakwah juga tidak harus menunggu menjadi ulama. Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam bersabda:

“Sampaikan apa yang engkau ketahui dariku meski satu ayat”. Juga sabdanya: “Siapa yang menunjukkan orang lain kepada kebajikan, ia akan mendapatkan pahala pelakunya”. (HR. Muslim)

Dapat dikatakan, dakwah merupakan kewajiban yang melakat pada jiwa raga seorang muslimah. Tak ada yang bisa dan boleh mengingkari kenyataan ini. Oleh karenanya, dalam Al-Qur’an dakwah diposisikan sebagai “alasan yang bisa diterima” untuk melepaskan diri dari beban dosa yang terjadi di tengah masyarakat.

Allah berfirman tentang ini:
" Dan (Ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa." (7:164)

Da’i tak boleh ambil pusing dengan kekhawatiran bahwa dakwah yang disampaikan akan diabaikan oleh obyek dakwah, karena untuk hal ini kita serahkan kepada kekuasaan Allah semata. Misi da’i adalah melaksanakan kewajiban yang menjadi bebannya. Bila kita tak melaksanakannya, kita akan turut dipersalahkan kelak di akherat.

Kedua, sisi obyek.

Bagi obyek dakwah, adalah upaya meluruskan pemahaman masyarakat dari berbagai penyimpangan pemikiran (syubuhat) dan menghentikan praktek dan amalan berdasarkan hawa nafsu (syahawat). Dua hal ini dipandang sebagai akar semua masalah keislaman. Dakwah berfungsi memberitahu bagi yang belum tahu, meluruskan jika masih ada yang keliru, dan mengajak semua obyek dakwah untuk turut serta memberikan kontribusi dalam mengamalkan dan menegakkan Islam. Islam bukan agama ilmu, atau spiritual semata, tapi juga agama yang hidup dalam dinamika amal dan perjuangan.

Kita harus dengan sadar memahami bahwa obyek dakwah adalah orang-orang yang beragam corak dan warnanya. Baik dari segi mazhab, ilmu, suku, minat dan sebagainya. Tapi semuanya dipersatukan oleh satu kenyataan; mereka semua sedang membutuhkan dakwah meski lisannya mengaku tidak membutuhkannya.

Ketiga, sisi penegakan Islam.

Islam ditegakkan dengan kombinasi antara dakwah dan jihad. Bila keduanya dibandingkan, dakwah lebih lama dibanding jihad. Bahkan bisa dikatakan, pada fase jihad dakwah tetap berlangsung.

Dengan demikian, dakwah tak memiliki masa jeda dalam proses menegakkan Islam. Dakwah berlaku pada masa damai maupun masa perang, bahkan pasca Islam sudah tegak dengan kokoh. Dakwah dilakukan pada semua kegiatan yang digunakan dalam menegakkan Islam.

Tujuan Utama Dakwah: Hidayah

Manusia tak akan selamat jika tak mengikuti hidayah (petunjuk kebenaran). Sebab manusia tak bisa merumuskan sendiri jalan hidupnya, dan menilai sendiri apa yang baik dan apa yang buruk bagi dirinya. Manusia dibatasi oleh akal dan pengalaman inderanya, yang karenanya tak mampu menilai secara obyektif terhadap dirinya sendiri. Manusia akan cenderung menganggap baik terhadap segala sesuatu yang sesuai dengan nafsu, keinginan dan idenya. Sementara sesuatu yang bertentangan dengan nafsu, keinginan dan idenya, akan dinilainya salah.

Hidayah harus dirumuskan oleh pihak selain manusia. Dirumuskan oleh Yang Maha Tahu dan Maha Kasih Sayang kepada manusia.

Rasulullah diturunkan untuk menjelaskan hidayah ini, sehingga semua manusia memiliki neraca (mizan) yang bersifat baku, berlaku secara global dan lintas jaman. Neraca berguna untuk menengahi perbedaan ide akal manusia dan pengalaman hidupnya.

Hidayah ada dua macam yang masing-masing dibutuhkan manusia:

Pertama: hidayah taufiq.

Hidayah ini merupakan kewenangan dan karunia Allah yang Allah berikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Berupa kecondongan hati dan pikiran untuk menerima kebenaran. Hidayah ini kadang hadir tanpa direncanakan oleh manusia, bahkan tanpa diawali dengan proses berilmu atau memahami. Tapi tentu saja lebih sering melalui mekanisme ilmu baru lahir hidayah taufiq.

Allah berfirman:

" Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (28:56)

Kedua, hidayah dalalah.


Hidayah ini adalah ilmu dan penjelasan akan kebenaran. Hidayah ini terjadi melalui majlis ilmu, pendidikan dan dakwah. Peran da’i adalah mengajarkan ilmu dan menjelaskan kebenaran kepada obyek dakwah hingga mengerti.

" Dan Demikianlah kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus." (42:52)

Pada batas inilah kewajiban kita, yaitu memahamkan syariat kepada semua umat manusia. Tentu saja dengan dilengkapi semangat maksimal dan metode terbaik sehingga memudahkan dalam proses menyampaikan dan memahamkan. Da’i tidak boleh apatis, dan hanya bersandar pada argumen klasik; yang penting sudah saya sampaikan.

Jin Saja Semangat Berdakwah


Bila ada manusia muslim yang enggan berdakwah, ia kalah dengan jin yang ternyata memiliki semangat dakwah yang tinggi. Tentu yang dimaksud adalah jin muslim. Allah berfirman:

" 1. Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: Telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami Telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan,
2. (yang) memberi petunjuk kapada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorangpun dengan Tuhan kami " (72:1-2)

Ketika jin sudah memahami dan beriman, mereka segera mendakwahkannya. Allah berfirman:

" Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih."(46:31)

Betapa jin muslim memiliki etos dakwah yang bagus di tengah kaumnya. Manusia sebagai makhluq yang lebih mulia, sudah sepatutnya lebih kuat etos dakwahnya dibanding jin.

Kendala Dakwah


Ada banyak kendala dalam melaksankan dakwah ilallah, diantaranya:

1 – Kendala psikologis, seperti munculnya rasa cemas dan takut yang dihembuskan syetan di dada kaum muslimin. Allah berfirman:

" Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaku, jika kamu benar-benar orang yang beriman." (3:175)

2 – Adanya hambatan nyata yang datang dari obyek dakwah seperti caci maki, cuek, memusuhi, mengusir dan sebagainya. Ibnu Taimiyah berkata: Ujian dan kendala ibarat siang dan malam, pasti akan datang silih berganti. Siapa yang memahami fakta ini, ia tak akan kesal atau murung karenanya.

3 – Kemiskinan yang menimpa para da’i sehingga menghambat dakwah. Kemiskinan menjadi penghambat jika seseorang tidak kuat azamnya. Namun jika azam atau tekadnya bergejolak, kemiskinan bukanlah hambatan. Tapi kerap terjadi sebaliknya, kekayaan yang lebih potensial melemahkan semangat dakwah.

4 – Mental dakwah yang labil, sehingga semangatnya tak bertahan lama. Pasca daurah semangat dakwah tinggi, tapi setelah sibuk dengan rutinitas pekerjaan kembali kendur semangatnya. Solusinya, berkawan dengan para da’i dan membaca kisah-kisah para da’i teladan.

5 – Nafsu ingin meraih hasil dakwah dalam waktu singkat, padahal dakwah termasuk pekerjaan yang membutuhkan kesabaran prima. Hal ini berbeda dengan karakter jihad yang sifatnya lebih mudah diprediksi menang kalahnya. Solusinya, kita serahkan hasil kepada Allah karena kepentingan kita adalah melaksanakan dakwah. Allah berfirman:

" Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan Karena mencari keridhaan Allah. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan). " (2:272)

" Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus Nuh kepada kaumnya, Maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim." (29:14)

Nabi Nuh membutuhkan waktu 950 tahun untuk berdakwah dan menuntaskan kewajiban kerasulan. Rentang masa sedemikian lama hanya mampu menghasilkan beberapa hasil dakwah, yang tak sampai membuat perahu dengan teknologi jaman itu tenggelam kerena jumlahnya. Salah satu riwayat menyebutnya 13 orang.

6 – Niat yang tidak ikhlas. Dakwah akan benar jika disertai niat yang ikhlas dalam rangka mencari ridha Allah dan pelaksanaan kewajiban dari Allah. Tanpa kesadaran ini, dakwah yang kita lakukan tak akan bertahan lama karena tidak memiliki “gantungan” di langit. Salah satu yang paling merusak keikhlasan adalah ujub dan riya.

7 – Sedikitnya kawan seiring. Dalam dakwah, apalagi yang menyampaikan dakwah dengan muatan 100%, niscaya sedikit orang yang menempuhnya. Setidaknya, sedikitnya kawan akan membuat keyakinan dai mudah goyah karena silau dengan jumlah mayoritas. Oleh karenanya, Al-Qur’an mengingatkan:

" Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). "(6:116)

8 – Kelemahan potensi dan kemampuan dakwah, misalnya merasa tidak bisa ceramah atau bacaan Al-Qur’annya buruk. Semua ini tak boleh menghalangi semangat dakwah, asal dibarengi dengan konsistensi belajar dan memperbaiki diri. Nabi Musa as memiliki keterbatasan bicara, namun tetap saja mendapat perintah dari Allah untuk berdakwah kepada Fir’aun.

9 – Merasa situasi dan kondisi tidak kondusif untuk dakwah. Perasaan ini harus ditepis, sebagaimana nabi Yusuf as tetap melakukan dakwah meski meringkuk di balik jeruji penjara. Allah berfirman:

" Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?" (12:39)

10 – Menjadi sasaran kritik, baik karena kelemahan dirinya, keluarganya atau materi dakwahnya. Kendala ini tak boleh menyurutkan semangat dakwah, karena tak ada ada sebaik-baik orang kecuali memiliki musuh, dan tak ada sejahat-jahat orang kecuali punya pengikut. Sunnatullah abadi yang tak lekang oleh perubahan jaman. Bahkan bukan hanya manusia, Allah dan Rasul-Nya juga menjadi sasaran kritik dan black capaign.

Nabi Muhammad saw mendapat predikt gila, paranormal, dan penyair. Bahkan Allah disebut oleh kaum Nasrani sebagai salah satu dalam trinitas, Yahudi menyebut tangan Allah terbelenggu, dan Allah disebut faqir sementara kaum Yahudi dianggap lebih kaya.

Nabi Nuh memiliki kendala dakwah yang datang dari istri dan anaknya sendiri. Nabi Musa terkendala pernah hidup serumah dengan Fir’aun. Nabi Yusuf dikenal sebagai mantan napi. Nabi Luth tersandung kasus istrinya. Tapi semua itu tak menghalangi dakwah mereka.

Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), Maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): “Masuklah ke dalam Jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)”. (66:10)


Allah berfirman: “Hai Nuh, Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), Sesungguhnya (perbuatan)nya[*] perbuatan yang tidak baik. sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (11:46)

[*] menurut pendapat sebagian ahli tafsir bahwa yang dimaksud dengan perbuatannya, ialah permohonan nabi Nuh a.s. agar anaknya dilepaskan dari bahaya.

11 – Tak tahu prioritas dakwah. Kendala ini bisa diatasi dengan merujuk kepada nasehat Rasulullah saw kepada Muadz bin Jabal saat hendak diutus ke Yaman untuk dakwah.

" Engkau akan bertemu dengan masyarakat ahli kitab (Nasrani). Jadikan tahap pertama dakwahmu adalah menyeru mereka kepada syahadat la ilaha illallah. Bila mereka sudah menerima, ajarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan shalat lima waktu tiap hari. Bila mereka sudah menerima, ajarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan sedekah (zakat) yang diambil dari kaum kaya mereka untuk dibagi kepada kaum miskin mereka. Bila mereka sudah mematuhinya, hindari mengusik harta berharga mereka. Takutlah kamu dengan doa orang terzalimi, karena antara dia dengan Allah tak ada penghalang. " (HR. Bukhari dan Muslim)

12 – Tidak mau berbaur dengan masyarakat sehingga bisa menghayati problematika mereka. Bisa jadi sebabnya karena tinggi hati atau malas.

13 – Ambisi kekuasaan. Penyakit ini bisa merusak reputasi dai, sehingga bukan semata dakwah terhenti karenanya, tapi bisa menimbulkan kebencian kepada Islam. Terapi penyakit ini dengan meningkatkan keikhlasan dan belajar tawadhu’.

14 – Tidak all out dalam dakwah. Padahal, untuk keberhasilan duniawi saja manusia harus memikirkan dan bekerja tak kenal lelah. Nuh as memberi contoh soal ini:

" 5. Nuh berkata: “Ya Tuhanku Sesungguhnya Aku Telah menyeru kaumku malam dan siang, 6. Maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). 7. Dan Sesungguhnya setiap kali Aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. 8. Kemudian Sesungguhnya Aku Telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan, 9. Kemudian Sesungguhnya Aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam," (71:5-9)

Wallahu a’lam bisshowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar